PERJUANGAN kaum perempuan Indonesia dalam membela hak-hak dasar kemanusiaannya sebagai warga bangsa sudah ditunjukan sejak lama. Pada masa-masa penjajahan Belanda, puteri-puteri Indonesia giat membela hak-hak kaum perempuan untuk memperoleh perlakuan yang adil dalam berbagai kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan budaya, bahkan ikut berjuang di medan perang untuk merebut kemerdekaan. Tokoh-tokoh seperti Cut Nyadien, RA Kartini, R Dewi Sartika, dan banyak tokoh perempuan lainnya adalah merupakan contoh figure yang diakui secara nasional merupakan para pendekar HAM perempuan.
Mereka adalah para pahlawan Indonesia, karena mereka berjuang untuk melawan kebodohan dan pembodohan serta berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan-baik secara fisik maupun fsikis yang sering dialami oleh kaum perempuan, yang disebabkan oleh sistem nilai dan budaya kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang belum mengharagai perempuan sebagai insan yang memiliki hak yang sama dengan kaum pria. Akibatnya kehidupan perempuan berada dalam keterbelakangan, terutama dalam bidang pendidikan dan intelektualisme, kesetaraan derajat dalam rumah tangga dan keluarga, peran dalam kehidupan bernegara dan kesamaan hak dalam bidang ekonomi.
Gerakan reformasi yang dimotori para aktifis mahasiswa yang bertujuan untuk mengakhiri kekuasaan Soeharto sebagai simbol Orde Baru, rupanya telah ditunggangi oleh sekelompok kecil oknum yang tidak bertanggung jawab, dengan melakukan berbagai kekerasan dan pemerkosan terhadap sejumlah perempuan yang tidak berdosa. Tindakan biadab itu telah menodai makna reformasi luhur yang bertujuan untuk mengakhiri kekuasan Soeharto yang selama pemerintahannya dianggap korup dan diktator, sehingga bangsa Indonesia secara keseluruhan mengalami penderitaan dan kemiskinanan. Hikmah di balik itu, telah memunculkan kesadaran baru, khususnya kaum perempuan, mengenai betapa selama ini hak-hak kaum perempuan masih terinjak-injak. Kuatnya desakan untuk mengusut dalang dan pelaku kekerasan terhadap perempuan dengan membonceng gerakan reformasi, telah melahirkan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui sebuah Keputusan Presiden No.181/1998 yang ditandatangani Presiden BJ. Habibie tanggal 15 Oktober 1998.
Dengan Kepres tersebut paling tidak telah lahir tonggak sejarah baru untuk mengakhiri berbagai perilaku kekerasan terhadap perempuan yang di samping melanggar Hak-Hak Asasi Manusia, juga menunjukkan Indonesia sebagai bangsa yang tidak beradab. Mementum ini sangat penting untuk terus diaktualisasikan dan dijadikan dasar perjuangan bangsa Indonesia, dalam memajukan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam Deklarasi Wina tahun 1993 mengenai HAM, telah mempertegas masalah hak-hak perempuan, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dari perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, integral dan tidak dapat dipisahkan. Kejahatan kekerasan berdasarkan jenis kelamin dan semua bentuk pelanggaran dan pelecehan seksual, termasuk karena prasangka budaya dan perdagangan internasional tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia dari perempuan harus merupakan bagian integral dari kegiatan HAM PBB.
Oleh karenanya upaya perjuangan terhadap hak-hak peprempuan tentu bukan saja merupakan masalah bangsa Indonesia, tapi sudah menjadi keprihatinan masyarakat global. Paling tidak ada dua belas masalah mendasar yang saat ini menjadi sorotan dunia internasional dalam kaitannya dengan isue-isue perempuan, yaitu: kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, dampak konflik bersenjata terhadap pepempuan, kesempatan ekonomi, kekuasaan dan pengambilan keputusan, mekanisme kelembagaan untuk pemajuan peprempuan, hak-hak asasi perempuan, media massa, lingkungan hidup dan masalah anak perempuan.
Sementara itu dalam pertemuan Millenium Development Goal (MDGs), perhatian terhadap masalah perempuan memperoleh sorotan penting, sehingga muncul delapan komitmen kunci MDGs yaitu: Menghapuskan kemiskinan ekstrem dan kelaparan; Mencapai pendidikan dasar universal; mendorong tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan; menurunkan angka kematian anak balita; memperbaiki kesehatan ibu dan memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya.
Sumber :
Saryono Jahidi (2009)
0 komentar:
Posting Komentar